Embun pagi rupanya masih menggelayuti beberapa dahan dan sesemakan di sekitar rumah yang dikelilingi oleh pesawahan itu. Kabut pun urung meninggalkan bumi di dini hari yang dingin. Tak seperti biasanya, hawa dingin di pagi itu terlalu sejuk bahkan mendekati derajat dingin yang menusuk. Membuat banyak orang lebih merapatkan selimut mereka dan tidur nyenyak dibuai mimpi. Ini awal bulan memasuki musim penghujan,untuk suhu di negara tropis suhu pagi ini sudahlah membuat banyak orang ingin bermalas-malasan di depan televisi sambil meminum teh-teh mereka. Bertolak belakang dengan segala nafsu ingin tidur dan bahkan menikmati pagi yang dingin. Beberapa orang yang berdagang di pasar sudah sejak sebelum azan subuh dikumandangkan menata barang jualan mereka dan bahu-membahu bersama keluarga untuk mengangkut ke pasar yang letaknya rata-rata 3km dari rumah para pedagang. Entah memang sudah pengaturan sejak awal atau memang takdir yang membuat rumah-rumah sesama para pedagang yang berjualan di pasar saling berdekatan. Rumah-rumah mereka terletak di satu blok yang sama, sehingga jika dini hari tiba blok tersebut sudah ramai oleh mereka yang menyiapkan barang dagangan. Blok itu terasa hidup di dini hari, tetapi akan terasa lengang sedari mentari mulai menampakkan cahaya keemasannya untuk membangunkan setiap ayam jantan yang berkokok membangunkan para tuannya hingga pertengahan hari. Karena disaat itulah rumah mereka ditinggalkan oleh penghuninya. Para orang tua berdagang, dan anak-anak mereka pergi ke sekolah. Tapi dipagi itu,bukan hanya suhu dan kabut yang membuatnya berbeda. Yakni Nanik, gadis kecil yang baru memasuki tahap pra remaja itu bangun di dini hari yang tak biasa dilakukannya – karena orangtuanya bukanlah pedagang seperti kebanyakan orang yang terbangun di dini hari dan ia biasanya sangat malas untuk bangun pagi-pagi sekali—yang dilakukannya sedari bangun dari mimpi panjangnya hanyalah menunggu suara azan berkumandang lalu dilanjutkan dengan shalat subuh dan setelah itu ia kembali memasuki alam khayalnya tentang perubahan nasib yang ia impikan. Ia sangat ingin bersekolah,ia hanya ingin memakai seragam dan mencium tangan kedua orangtuanya sebelum berangkat ke sekolah. Hanya itu. Suatu hal yang remeh dan dilakukan setiap hari oleh para teman sebayanya yang bernasib menjadi anak pedagang di pasar. Ia pun tak bisa merengek-rengek kepada kedua orangtuanya bahwa ia ingin bersekolah dan sangat ingin orang tuanya mendaftarkan dirinya di sekolah yang letaknya menyeberangi sungai yang memisahkan desanya dan desa tetangga. Tapi melihat keadaan orang tuanya,hati kecil gadis belia itu tergolak. Ia tak sampai hati membicarakan hal yang bisa membebani orangtuanya. Jadi yang ia lakukan dipagi hari pertama ia putus sekolah hanyalah ini, merenung dan bermimpi tentang kebahagiaan dunia khayalnya.
Pelan-pelan dibukanya jendela kamarnya,kamar itu luasnya tak lebih dari luas kamar mandi di sebuah rumah megah diujung jalan menanjak yang mengarah ke sebuah sekolah dasar negeri yang reot dan tak terurus oleh pemerintah. Seolah pemerintah melupakan anggaran dana atas sekolah dasar tersebut,atau para petinggi pemerintahan yang tak menyampaikan anggaran dana ke sekolah itu,atau kepala sekolah itulah yang mengambil alih semua dana yang diberikan—entahlah, kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi Allah-lah yang tahu segala apa-apa yang ada—dan di sekolah itulah dulunya ia belajar. Cahaya mentari yang keemasan jatuh menerpa embun di sesemakan liar memantulkan spektrum cahaya yang indah. Nanik bukannya tak menikmati pemandangan pagi itu, ia pun telah mengamati awan kumulus yang sedikit demi sedikit terkikis oleh cahaya jingga keemasan sang raja langit. Tetapi rupanya duka dalam nestapa yang bergelut dalam batinnya tak dapat dihibur oleh sekadar cahaya orange yang menggerogoti langit biru ataupun kemilau cahaya warna-warni. Jangan kira ia tak menangis, air matanya sudah kering menangisi hidupnya yang dilanda kesusahan sedari kecil. Sejak berumur 5tahun ia sudah dipaksa menerima hari-hari kanak-kanaknya terancam dirusak oleh kesukaran hidup yang ia jalani, dan orangtuanya yang tak bisa banyak berbuat. Orangtuanya bukan pemalas yang miskin karna malas mencari uang dan tak mau bekerja keras. Orangtuanya adalah pekerja keras sejati, yang rela mempertaruhkan nyawanya mengais rezeki demi menghidupi anak satu-satunya itu. Memberinya susu dan makanan murah yang mati-matian mereka beli dengan uang tabungan seminggu yang dikumpulkan. Tetapi nasib masih tak mau berpihak pada keluarga kecil itu.