Pernah
mendengar kisah lama para pemimpin negeri diujung tanduk kita?
Mungkin
ada yang pernah merasa penasaran atau bertanya-tanya, kenapa dengan pasangan
pemimpin ini dan itu yang berpisah pada akhir masa jabatan. Dan “sahabat lama”
yang berpisah itupun kembali mengikuti sayembara untuk berada di puncak
tertinggi kuasa negeri.
Kenapa?
Para
pemimpin negeri kita tercinta ini sepertinya sudah dilanda kekalutan. Kekalutan
atas diri sendiridan desakan dari kaum hedonis teratas negeri. Buktinya, dalam
skala dekade puluhan tahun negara yang kita diami ini tidak pernah melahirkan
kemajuan yang berarti dan signifikan. Setelah itu, dalam cakupan lima tahunan para
pengusaha, pengamat politisi terkenal, atau orang-orang yang selama ini berada
dibalik tabir hitam mengusung dan menyanjungkan beberapa nama calon pemimpin
negara. Dibalik kerasnya dan kemunafikkan permainan politik dalam negeri, saya
hanya ingin mengusung fakta dan hal unik yang melanda negeri. Untuk lebih
jelasnya, monggo dibaca:
1.
Kultural
Ada
apa sih dengan kultural kita?
Ehmm,
katanya negeri kita satu bhineka tunggal ika, tapi mengapa harus ada pembahasan
kultural disini? Kenapa saya terkesan rasis?.
Bukan,
sebenarnya bukan rasis ataupun membanding-bandingkan budaya satu dengan yang
lain ataupun mengungkit-ungkit kejelekan dan kebaikan budaya lainnya.
Saya
menyebutkan kultural sebagai tolak ukur watak yang akan mempengaruhi seseorang
dalam kecepatan, dan penimbangan dalam pengambilan keputusan. Mengambil
keputusan sangat penting bagi seorang pemimpin,karena pada keputusan itulah
negara kita bergantung. Akan lebih baik atau lebih burukkah nasib kita jika
mematuhi keputusan tersebut. Jadi, mengusung beberapa teori psikologi tentang
empat watak manusia yang melankolis,koleris,sanguinis dan pragmatis ataupun
gabungan dua diantara empat watak tersebut.Saya menyimpulkan bahwa ada
keterkaitan antara watak seseorang yang didapatkan dari kultur lingkungan dimana
dia tinggal dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Sebagai
contoh dalam kasus presiden kita yang sekarang menjabat, bapak Susilo Bambang
Yudhoyono.
Pada tahun 2004 silam, ia terpilih memimpin negeri
ini dengan wakilnya yaitu bapak Jusuf Kala. Yang pertama kali terlintas dibenak
saya adalah bahwa kompilasi duet antara kedua orang ini menarik.
Karena,bapak
SBY sebagai “tiang jawi asli” (orang jawa asli,red.) yaitu suku dengan
keramah-tamahan,lilo legowo(berlapang dada),sikap penerimaan,serta berhati-hati
dalam bertindak dan berpikir berulang-ulang dalam pengambilan keputusan untuk
pemecahan masalah.
Dan
satunya bapak JK sebagai orang makassar yang terkenal dengan sikap
ceplas-ceplos, cepat merespons,berani mengambil resiko,dan tidak terlalu sering
berulang-ulang dan berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk pemecahan
masalah.
Nah, dapat dimengerti disini jika saya
menjabarkan bahwa kedua karakter yang dipasangkan diatas merupakan gabungan
budaya yang unik. SBY dengan segala ketenangannya menyikapi suatu masalah
merupakan pengerem bagi JK yang notabene selalu tampil atraktif dan cepat dalam
pengambilan keputusan. Jadi ada yang menjadi kompor untuk memasifkan kegiatan
diranah politik tingkat atas dan ada yang menjadi air untuk meredam sejenak kepanasan
yang ditimbulkan. Bisa dibayangkan bukan betapa sempurnanya sosok pemimpin
negeri ini jika mereka sukses berduet dalam panggung politik negeri nan megah
itu?
Sayang beribu sayang, JK dengan segala
program yang ia buat seperti pengalihan bahan bakar masak minyak tanah dengan
gas dan program-program cemerlang yang lain yang mengandung resiko tinggi tapi
bisa mencapai kesuksesan dengan keberhasilan program yang dicanangkan,mengajukan
pengunduran diri sebagai pasangan SBY pada akhir masa jabatan. JK lebih memilih
maju kembali kepanggung politik dengan pasangan duet yang lain,yang ia nilai
lebih bekerja cepat dan efisien seperti dirinya.
Pada tahun 2009, pemilu pun diadakan
kembali dengan peserta yang sudah dikenal nama-namanya seantero negeri. Disana,duduk
pasangan SBY dengan Boediono yang keluar sebagai pemenang kompetisi politik
lima tahunan itu. Dan saya cukup terkejut dengan terpilihnya Boediono sebagai pasangan
SBY menggantikan JK. Didalam hati saya, saya cukup kecewa karena notabene bapak
Boediono adalah seorang rektor(dosen) dalam artian seorang saintis, ditambah
dengan bapak Boediono sebagai orang jawa asli yang mana sama dengan SBY. Jadi
sekarang pemimpin negeri ini adalah dua orang pengerem sejati. Tidak ada
langkah cepat mengambil keputusan. Tidak ada kebijakan pengubahan yang menjadi
penggebrak berubahnya negeri. Meskipun tahu kebijakan tersebut beresiko tinggi
dan mempunyai presentase yang gemilang jika kebijakan tersebut berhasil
dicanangkan. Tidak ada yang berani mengambil resiko dari keduanya. Dan semua hipotesis saya pada tahun 2009
silam terbukti, dengan tidak adanya program berarti sebagai penggebrak negeri
yang berhasil dicanangkan.
Dari sini, kita dapat melihat betapa
kultur memengaruhi kesuksesan pemimpin negeri dalam pengambilan keputusan yang
tepat dan dibutuhkan negeri. Bukan berarti rasis, saya sebagai penulis pun
bersuku jawa asli. Tapi kadangkala kita memerlukan orang yang tepat untuk duduk
pada kursi yang tepat. Tidak mungkin kan kita memberikan kursi balita pada
orang dewasa? Karena intensitas isi dan bobot yang sudah berbeda. Jadi
tempatkanlah dan manfaatkanlah seluruh mutiara yang tersebar dalam negeri untuk
menjadi pemimpin yang berdedikasi tinggi di bumi Indonesia,tidak hanya
mendahulukan suku etnis yang terkenal karena berada paling dekat dengan wilayah
pusat pemerintahan.
2.
Sistem
pemerintahan Versus Pelaku sistem pemerintahan
Dalam kacamata saya, sistem pemerintahan Indonesia
adalah sistem pemerintahan yang baik. Karena kita menggunakan sistem
pemerintahan presidensial yang mana presiden mempunyai andil yang cukup kuat
untuk negerinya, tetapi tetap dibatasi dan diawasi. Jadi presiden tidak bisa
otoriter terhadap negaranya. Jika presiden tersebut melakukan kesalahan dan
terbukti, maka presiden dapat dijatuhkan dari jabatan dan digantikan dengan
wakil presiden. Sistem pemerintahan kita juga mencanangkan demokrasi bagi
setiap warga negara, yang mana berarti tiap warga negara bebas menyampaikan
pendapat dan aspirasi untuk terciptanya negeri yang lebih baik lagi. Tapi
demokrasi ini tetap diawasi dan dibatasi, jadi bukanlah demokrasi bebas yang
kebablasan.
Dari sistem yang saya jabarkan, bukankah Indonesia
adalah negara dengan sistem pemerintahan yang baik bak surga dunia yang jika
dijalankan dengan semestinya maka akan menumbuhkan negeri yang makmur dan
teratur?
Namun,
sistem yang baik ini harus diracuni dengan pelaku-pelaku sistem pemerintahan
yang sama sekali tak mengelakkan dan mencanangkan sistem.
Pelaku-pelaku
ini adalah pelaku lawas dari rezim orde lama, orde baru hingga reformasi.
Mungkin pelakunya tak sama, tapi darah yang mengalir dalam tubuh pelaku-pelaku
ini tetap darah yang sama pada masa orde lama dan orde baru. Yang mana pada
masa itu praktik KKN terjadi dimana-mana. Disini, bukan sistem dan aparat
keamanan ataupun idealisme sebagai mausia yang disalahkan. Tetapi pelaku lawas
yang tak juga hengkang dari sistemlah yang mencarut-marutkan sistem
pemerintahan negeri. Mereka merongrong kebijakan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi, menyabotase pemilu menjadi settingan belaka. Merekalah yang berada
dibalik layar yang patut untuk diselesaikan. Bukan curut-curut mungil bak cameo
yang terus-menerus didera pernyataan publik. Caleg ini korupsi, bupati ini
melakukan praktik KKN. Jika yang ditangani hanya para politisi atas yang
mencakup hedonis, saya rasa negara ini akan terus terisi para calon-calon
koruptor dan pelaku praktik KKN.Bukanlah daun,batang dan bunga yang seharusnya
dipangkas mati. Selama ada akar,maka prakitk-praktik keji tersebut akan tetap berjalan.
Melewati beberapa dekade dan abad-abad kelam pemerintahan Indonesia.
Bahkan jika seseorang yang idealis diterjunkan bebas
dan ikut berpartisipasi dalam sistem pemerintahan Indonesia sekarang, siapa
yang menjamin bahwa seseorang yang idealis itu akan berpegang teguh pada
prinsipnya? Jika sistem dan pelaku terus-menerus mendesak, siapa yang menjamin
seorang yang idealis bakal tetap melawan arus? Siapa?.
Maka
dari itu, kebanyakan kita lihat bahwa orang-orang yang peduli dan mencoba
mengatasi permasalahan negeri ini pun ikut jatuh terseret kedalam hotel rodeo.
Entah karena kasus korupsi, praktik nepotisme, praktik kolusi atau karena
terkena fitnah imbas settingan sadis para petinggi keji negeri. Siapa yang
tahu?
Jadi, untuk menyelesaikan masalah inipun tak ada
aling-aling dan tak ada cara lain selain bertindak tegas memangkas semua
petinggi negeri yang menjabat. Lalu digantikan oleh pemuda-pemudi bangsa yang
produktif dan memiliki prinsip idealisme tinggi. Baru, segala praktik KKN akan
terhapus dari bumi kita tercinta ini.
Itulah
selintas fakta dan hal unik yang saya temukan pada negeri kita ini. Kerusakan
bukanlah mereka yang sudah tak percaya lagi pada para pemimpin bangsa,bukan
pula mereka yang lebih memilih untuk menutup kelima panca indera. Tapi adalah
mereka yang lebih memilih menikmati dan menonton dari jauh situasi negeri dan
bertindak seperti sudah tidak peduli lagi.
Inderalaya,
14 Februari 2014
Perumahan
Mutiara Indah 2
*aeririana*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar